SIAPA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ?
Pemahaman atas layanan pendidikan untuk anak Indonesia tidak berhenti pada sudut persimpangan jalan, tapi jalan seperti arah depan kita yang tidak mengenali kata buntet dalam kehidupan. Dari hari ke hari pemahaman atau pemaknaan atas istilah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengucur seperti air cari lokasi yang bemakna.Berikut ini lonelantern.org telah merangkum serangkaian informasi tentang berbagai sistem pendidikan untuk anak kebutuhan khusus.
Semua pemahaman itu betul pada jamannya. Anak berkebutuhan khusus sebagai alternatif istilah lama anak cacat atau penyandang cacat. Sebetulnya istilah Anak Bekebutuhan Khusus untuk menunjuk mereka yang mempunyai abnormalitas fisik, emosional, psikis, cendekiawan, dan/atau sosial. Pemerintahan pahami atas dasar keadaan keterbatasan hingga beranggapan anak yang mempunyai kelebihan serta kekurangan kekuatan terutamanya dalam sektor pendidikan mempunyai keperluan pendidikan secara eksklusif.
Atas dasar pemahaman tersebut pada akhirnya tempatkan status untuk anak yang mempunyai kelebihan serta kekurangan kekuatan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pemerintahan tempatkan keterbatasan untuk menghitung keperluan layanan, terutamanya layanan pendidikan. Pemahaman ini tidak salah, tapi menurut irit penulis, telah waktunya layanan pendidikan didasari pada kekuatan yang dipunyai anak.
PENDIDIKAN BAGI ABK
Anak Bekebutuhan Khusus sebelumnya dikenali sebagai Anak Luar Biasa (ALB) hingga pengajarannya dikenal juga sebagai Pendidikan Luar Biasa (PLB), instansi pengajarannya dikenal juga sebagai Sekolah Luar Biasa (SLB).
Perubahan seterusnya dalam sektor pendidikan pasal 5 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2003 menukar istilah Pendidikan Luar Biasa jadi Pendidikan Khusus dengan jamin jika ” Masyarakat negara yang mempunyai abnormalitas fisik, emosional, psikis, cendekiawan, dan/atau sosial memiliki hak mendapat pendidikan khusus “. Disamping itu ayat 4 jamin jika ” Masyarakat negara yang berpotensi kepandaian dan talenta istimewa memiliki hak mendapat pendidikan khusus ” . Maka abnormalitas dilihat dari keunggulan dan kekurangannya.
Seterusnya instansi pendidikan untuk ABK bisa kita ketahui atas dasar UU No. 20 tahun 2003 Pasal 15 yaitu Tipe pendidikan meliputi pendidikan umum, kejuruan, akademis, karier, vokasi, keagamaan, dan khusus. Dan pasal 32 ayat 1 UU No. 20 Th 2003 memperjelas jika ” Pendidikan khusus sebagai pendidikan untuk peserta didik yang mempunyai tingkat kesusahan dalam ikuti proses evaluasi karena abnormalitas fisik, emosional, psikis, sosial, dan/atau berpotensi kepandaian dan talenta istimewa “.
Maka dari itu sebagai instansi pendidikan lajur pendidikan resmi tingkatan PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, karena itu instansi pendidikan dalam koridor pendidikan khusus untuk semuanya tingkatan harus berdasar pada UU No. 20 Tahun 2003. Dari sisi instansi dan tingkatan Pendidikan Khusus mencakup Tingkatan PAUD ialah TKLB, Tingkatan Pendidikan Dasar ialah SDLB dan SMPLB, sedang untuk tingkatan Pendidikan Menengah ialah SMALB.
Seterusnya secara tehnis operasional pendidikan khusus ditata dengan Permendiknas No. 01 tahun 2008 mengenai Standard Operasional Pendidikan Khusus yang simpel bisa dimengerti sebagai berikut :
Pengelompokan pelajar ialah sisi A untuk pelajar Tunanetra, sisi B untuk pelajar Tunarungu, sisi C untuk pelajar Tuangrahiata enteng, Sisi C1 untuk pelajar Tunagrahita sedang, Sisi D untuk pelajar Tunadaksa, sisi D1 untuk pelajar Tunadaksa sedang dan sisi E untuk anak Tunalaras.
Pengendalian kelas ditata untuk tingkatan TKLB dan SDLB maksimal 5 anak per kelas, dan untuk SMPLB dan SMALB 8 anak perkelas.
Kurikulum yang diaplikasikan ialah KTSP berbentuk kurikulum tingkatan TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB masing-masing pada bagian A, B, C, C1, D, D1 dan E
Evaluasi memiliki sifat indifidual.
Pembagian pekerjaan untuk tingkatan TKLB dan SDLB ialah guru kelas, sedang untuk SMPLB dan SMALB sebagai guru matapelajaran.
Syarat menjadi guru pada TKLB dan SDLB diwajibkan memiliki ijazah S1 (sarjana) Pendidikan Khusus (PK) atau Pendidikan Luar Biasa (PLB), sedang untuk guru SMPLB dan SMALB bisa S1 PK / PLB atau S1 matapelajaran yang diberikan di SMPLB dan SMALB.
PEMBINAAN
Di saat Ketentuan Pemerintahan No. 25 Tahun 2000 masih berlaku, pembimbingan SLB ada di Pemerintahan Propinsi. Wewenang penyelenggaraan SLB ada di Dinas Pendidikan Propinsi. Atas keadaan ini ( pada waktu itu) Pemerintahan Kabupaten belum tempatkan pembimbingan SLB sebagai tanggungjawabnya. Pembimbingan dipercayakan pada Pengaswas TK/SD. Untuk SDLB tidak jadi masalah, tapi untuk SMPLB dan SMALB kadang-kadang menjumpai keadaan yang kurang untung. Ini berjalan sampai lahir PP No. 38 Tahun 2007.
Baca Juga : Mengenal Jurusan Kriminologi yang Masih Langka di Indonesia
Perubahan seterusnya pembimbingan umum kelembagaan merujuk pada UU No. 32 tahun 1999 dan PP No. 38 Tahun 2007 di mana pada hakekatnya ialah sama dengan pembimbingan pada pendidikan tingkatan PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah secara umum. Hal yang membandingkan ialah pembimbingan tehnis pengajarannya. Atas dasar ketetapan ini seterusnya SECARA NORMATIF tanggungjawab pembimbingan ada di bahu PEMERINTAH KABUPATEN lewat dinas terkaitnya. Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Pusat karakternya memvasilitasi.
Maka dari itu untuk terlaksananya pembimbingan tehnis, baiknya tiap Kabupaten mempunyai minimum seorang Pengawas Pendidikan Khusus, hingga diharap pembimbingan tehnis mendidik tidak terlewati.
KENDALA YANG DIHADAPI
Masalah selalu kita jumpai dan kita temui dalam perjalanannya sampai saat ini, meskipun kita sadar jika servis pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus pada hakekatnya sama dengan servis pendidikan secara umum. Namun berikut realitanya.
Masalah dari segi anak, belum semua anak bisa ikuti program pendidikan khusus karena beragam akibat.
Masalah dari segi tenaga guru, entahlah karena apa, sejak dulu sampai saat ini jumlah tenaga guru belum memenuhi.
Masih kurangnya publisitas dan publikasi, hingga kadang-kadang warga kurang ketahui kehadiran TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB di wilayahnya, dan kurangnya support stikholder yang ada.
Masalah dari segi pembimbingan ( menurut irit penulis) ada banyak karena diantaranya :
Belum terbentuk kemiripan pemahaman di barisan pendidikan khusus ( SDLB, SMPLB, dan SMALB) hingga ada yang tidak dapat terima realita jika ketentuan normatif nya pembimbingan ialah PP No. 38 Tahun 2007. Ada beberapa sekolah (terutamanya swasta) yang berlainan pemahaman dengan pembimbing pada tingkat kabupaten.
Demikian juga di barisan pembimbing pendidikan kabupaten, masih tetap ada beberapa pembimbing tingkat Pemerintahan Kabupaten yang belum sudi tempatkan pendidikan khusus sebagai sisi dari tanggungjawabnya. Ini berpengaruh pada terbatasinya pembimbingan dalam semua aspeknya. Mudahan ini kerliru !
Jika sudah terbentuk kesepaham pada tingkat Pembimbing Kabupaten, belum semua Kabupaten mempunyai seorang pengawas Pendidikan Khusus sebagai pembimbing teknisnya.
Belum terbentuk kemiripan pemahaman wujud pembimbingan pada pendidikan khusus di antara barisan Pembimbing tingkat Propinsi, Tingkat kabupaten dasn kelompok sekolah sendiri. Ini sebuah realita